Selasa, 15 April 2008

Apa Yang Disebut Dengan Narkotika

Apa yang dimaksud dengan narkotika ?
Narkotika berasal dari bahasa Yunani Narkoun yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Menurut Undang-undang R.I No.22/1997 ditetapkan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik buatan maupun semi buatan yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan atau kecanduan. Undang-undang ini memberi batasan penyalahgunaan narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Dalam pasal 45 dinyatakan bahwa pecandu narkotika wajib menjalankan pengobatan dan atau perawatan

Kenapa Bisa 15 Persen Penduduk Jakarta Menjadi pecandu Narkoba ?

Data dari Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI Jakarta, disebut sekitar 15% penduduk Jakarta (atau sekitar 150.000 orang penduduk) adalah PECANDU NARKOBA! Hmmm... sejumlah itu baru perkiraan untuk kategori pecandu, padahal ada yang disebut pemakai tapi belum pada tingkat kecanduan, ada yang pada taraf coba-coba karena penasaran atau ingin dianggap gaul. Jadi pengguna narkoba di DKI Jakarta tentu angkanya jauh diatas angka 150.000 itu.

Persoalan ini tentu saja dapat dikaji dari beberapa aspek, baik moral, kultural, ekonomis, maupun hukum. Dari dahulu kala hingga saat ini, detik ini, upaya pemberantasan penggunaan Narkoba tidak pernah berhasil. Mengapa? Ya, "mengapa?" itulah pertanyaan kita semua. Saya bukan orang yang paling bermoral sehingga saya merasa tidak pantas melihat itu dari aspek moral, saya juga bukan budayawan atau antroplog sehingga tidak tepat kalau saya mengkajinya secara sosio-kultural, saya juga bukan pakar ekonomi sehingga saya kesulitan menemukan titik korelasinya antara faktor ekonomi dengan maraknya penggunaan narkoba, apalagi jika saya harus melihat sisi hukumnya, saya justru lebih buta lagi soal itu. Tetapi sebagai manusia yang hidup disalah satu sudut di tanah nusantara ini, saya merasa perlu ikut bersuara tentang Narkoba ini, tanpa memperdulikan suara saya ini memiliki implikasi positif terhadap masyarakat atau justru diabaikan dan dianggap tidak ada.

Sebelum lebih jauh, saya jadi ingat beberapa bulan lalu, salah satu pemimpin kita dengan sangat "jeli" melihat korelasi antara kemacetan dan penggunaan AC sebagai indikasi naiknya tingkat ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, semakin macet berarti masyarakat kita semakin kaya, karena banyak orang yang mampu membeli mobil. Listrik "byar-pet" itu juga sebuah indikasi bahwa masyarakat kita semakin sejahtera karena banyak rumahtangga yang menggunakan AC dirumahnya. Sebuah analisis yang LUAR BIASA, bukan?

Jika kita coba memberikan analisa atas tingginya pemakai narkoba dengan pendekatan analisa seperti yang dilontarkan salah satu pemimpin bangsa kita itu, maka semakin banyak pengguna narkoba seharusnya kita semakin bangga dan serta-merta harus mengucap "alhamdulillah", karena hal itu juga bisa dikatakan sebagai indikasi bahwa masyarakat kita semakin makmur, sehingga kebutuhan primer dan sekundernya sudah tercukupi bahkan berlebih hingga bisa membeli barang-barang haram itu (narkotika dan zat adiktif lainnya) yang harganya tidak murah! (tentu saja banyak orang yang tidak setuju dengan analisa "PILON" ini, bukan?)

Disisi lain, ada pepatah yang mengatakan "gajah di pelupuk mata tidak terlihat, 'kutu kupret' diseberang lautan terlihat jelas". Artinya sesuatu yang negatif itu mudah di ingat, mudah dilihat, akhirnya paradigma berpikir kita menjadi negatif pula. Betapa kita semua juga pers di negeri ini setiap hari selalu membicarakan hal-hal negatif, kegagalan-kegagalan pemerintah, kemudian menghujat, mencaci-maki, sumpah serapah, dan seterusnya. Yang positif tidak mendapatkan ruang pemberitaan yang cukup berarti. Lihat saja bagaimana perjuangan heroik seorang Siti Fadilah Supari (Menkes RI) melawan WHO dalam menegakkan keadilan, meneguhkan harkat martabat bangsa dan itu untuk kepentingan umat, dan menang! (apakah berita itu sampai di telinga anda?). Mengapa begitu? jawabnya adalah karena berita seperti itu tidak "seksi" dalam wacana pers kita. Tidak 'marketable'.

Lantas apa hubungannya semakin maraknya peredaran narkoba dengan kecenderungan orang melihat sisi negatif itu?

Sesuatu yang negatif lebih mudah diterima, lebih mudah diingat dan itu menimbulkan efek penasaran. Ketika kita mengatakan kepada anak kita "jangan nakal ya!" anehnya anak kita semakin nakal. Kita pajang tulisan "jangan buang sampah disini", justru semakin menumpuk sampah disitu. "Hanya monyet yang boleh kencing disini", tulisan itu pernah saya lihat di salah satu ujung gang, tetapi setiap hari bau pesing-nya semakin menyengat (mungkin memang banyak orang yang merasa bagian dari keluarga monyet itu). Begitulah. Ditambah lagi ada ungkapan yang mengatakan "peraturan itu dibuat untuk dilanggar", semakin memperparah keadaan. Maka ketika kita bilang "SAY NO TO DRUGS", kira-kira reaksi apa saja yang akan terjadi pada pembaca slogan itu? Seberapa banyak yang mungkin justru penasaran, "hmmm.. say no to drugs? emang ada apa sih dengan drugs? kenapa harus say no?", ia penasaran lalu untuk bisa bilang "no" maka ia perlu pembuktian, apalagi bagi orang-orang yang sangat skeptik. Jadi semakin banyak kita menulis "Say No To Narkoba" maka justru banyak orang semakin penasaran untuk mencoba, agar menemukan jawabannya. Kemudian kita ganti dengan slogan "Hidup Bahagia Tanpa Narkoba", ini sama saja, bisa membuat orang penasaran juga. Apalagi bagi yang belum pernah mengkonsumsi narkoba. Jadi semakin banyak slogan menggunakan kata "tidak" atau "jangan" atau kata-kata negatif, maka semakin itu mudah masuk dalam ingatan dan kesadaran manusia. Semakin banyak kita tuliskan kata "narkoba" maka narkoba semakin populer, padahal manusia itu memiliki kecenderungan untuk mengejar popularitas.

Langganan Artikel

Daftarkan Email Anda, untuk mendaptkan berita terbaru dari "Dokter Gaul"

Total pelanggan :

Enter your email address:

Tanya Dokter Gaul